15 Februari 2010
SLAWI - JAKARTA KISAH DI JALUR IRIGASI
Tancap gas di mulai, sang supir membawa bus Dewi Sri kami keluar dari terminal dan menelusuri jalan kota Slawi.. Keluar dari kota, mulai terlihat kembali sawah-sawah yang kulihat dari jendela kereta saat perjalanan pergi. Bus melaju sangat cepat dan terkesan agak sembrono. Tiba-tiba bus ku itu hamper masuk ke sawah. Ban kami berbunyi seperti tergelincir, sudah yakin bahwa ban belakang bus kami itu sempat turun dari jalur yang tepat. Membuat sebagian besar orang yang duduk di belakang teriak dan memaki sang supir. Bau solar tercium, aku rasa ada yang tumpah. Bau telur tericum, aku rasa ada yang pecah. Bunyi ayam terdengar, aku rasa ada yang membawa ayam. Semua terlihat lebih siaga setelah itu, tidak ada yang tertidur. Sang supir menjadi siaga, sadar bahwa kinerja dia diawasi oleh para republikan sungguhan Negara ini. Tidak ada yang terlintas di pikiranku untuk marah saat ban belakang kami keluar jalur. Tidak ada rasa marah. Aneh. Saat yang lain memaki, aku hanya diam. Mungkin karena aku tidak terlalu kena banyak dampak.
Ternyata pemandangan dengan bus lebih indah daripada naik kereta. lebihbanyak pola kehidupan masyarakat yang bisa di amati. Memang jalannya kecil, tapi lumayan, ada bonus pemandangan. Aku ingat saat bus jalan tepat di samping jalur irigasi yang cukup lebar. Hmm… suasananya. Tak lama kemudian aku dengar suara aneh, aku harap yang lain juga mendengarnya. Suarana aku yakin dari dalam bus. Sekitar 15 menit kemudian yang lain terlihat mulai sadar. Supir mulai memanggil si kondektur. Mendapat bisikian untuk memberhentikan bus. Sang supir pun menurut. Tak lama sang supir berkata “AC-nya meleduk”. Yang lain “aaaa….”, “ Pir kananin, deket pondokan tu…”
Saat ini aku tidak teriam, aku melirik ke luar jendela. Kulihat dengan jelas sebuah pemandangan yang sungguh elok. Kulihat saluran irigasi yang mengalir dengan di temani beberapa orang setempat yang sedang memancing dan menggembalakan sapi-sapinya. Kemudian ku lirik ketempat duduk para orang yang senasib dengan ku. Kami saling melihat dan tertawa. Tak lama, setelah kusiapkan tas ku, ku putuskan untuk turun dari bus dan menunggu di pondokan. Ibu-ibu itu berkata “mas mao turun disini?”. Dengan santai aku balas “iya, nunggu dibawah aja, lumayan ya bu, nambah 10.000 tapi dapet petualangan”. Mereka tertawa. Kulewati beberapa pecahan telur asin, beberapa jengkal bekas minyak tanah yang tumpah, dan kulihat dua keranjang Ayam. Tepat tebakanku. Ada telur pecah, bensin yang berceceran, dan ayam. Senang.
Banyak yang turun, mencoba membantu sang supir. Aku malah terdiam duduk dibawah pondokan. Melihat pemandangan yang hebat ini. Kira-kira itu pukul 4 sore. Bayangkan indahnya situasi kami. Kira-kira bisa dikatakan kami berada tepat di tengah-tengah sawah. Kiri kami adalah saluran irigasi, kanan kami adalah pendopo. Kami ditemani oleh sapi-sapi yang digiring oleh seorang penggembala, bebek-bebek yang digiring mengantri oleh bu Tani, beberapa orang mancing yang melihati kami. Tak lama lewatlah seorang bocah kecil dengan menggiring kerbaunya. TEPAT SEKALI dengan imajinasi masa kecilku. Kulihat bawah, dekat dengan kakiku, kulihat hanya rumput kuning di kelilingi tanah kering. Kulihat ke atas kulihat bendera merah putih republik ini berkibar. Tiangnya diikat di salah satu fondasi pondokan kanan kami. Berkibarlah merah putih…
Kami orang tidak sekarat. Kami saling berkecukupan. Salah satu seorang dari kami memberikan aku sebotol mizone. Kemudian mereka berencana menukar mizone ku dengan aqua. Tapi akhirnya mereka memberikan aku keduanya. Aku tidak tahu kenapa mereka sangat perhatian. Mungkin karena merasa sepenanggungan? Tiba-tiba aku sadar, aku pasti bisa bantu si supir. Kudatangi si supir. Ku katakana padanya “Mas, apa yang bisa aku bantu?” dengan kesal si supir menjawab “apa?”, kutanya lagi “mas apa yang bisa aku bantu?”. Setelah itu dia melihat aku dan kemudian menjawab dengan baik “ah tidak apa, ini bentar lagi bisa koq”. Benar bus kami jalan lagi.
Ada 1 km. Bus kami ambil penumpang di pinggiran irigasi. Si penumpang baru duduk disebelahku. Ku mulai bicara dengannya, dengan harapan dapat membunuh waktu ini. Namanya Agus Santoso atau Yopie, seorang nelayan, dari tegal. Hanya sekotak rokok dan dompet yang ada padanya. Macam orang belibur saja. Tujuannya sama dengan aku. Jakarta. dia bekerja di muara angke. Kutanya kenapa tidak berlayar di selatan saja. Dia jawab dengan alasan budaya. Kita tahu semua, bahwa selatan adalah dibawah pengaruh ratu, agak susah disana airnya tinggi. Di Jakarta gampang. Pendapatan dari Jakarta lebih besar dari di selatan. Demi ekonomi keluarga, ia tinggal keluarganya untuk kira-kira 2 bulan lamanya.
Suasana berubah, kiri kanan ku sekarang menjadi lahan panen bawang. Banyak sekali bawang yang telah di panen. Semuanya di letakan di pinggir jalan. Berharap sang tengkulak akan dating dan menggambilnya. Panen raya. Air irigasi di pompa oleh para petani menggunakan pompa motor.
Tak lama setelah bawang kemudian aku lihat ada mobil patrol jalan raya di depan bus kami. Mobilnya parkir di sisi jalan. Saat bus kami lewati mobil patrol itu, si Polisi tidur pun membunyikan klaksonnya. Bus kami dengan otomatis minggir. Berhenti sebentar. Sang kondektur dengan cekatan (atau sudah biasa) turun dan mendekati mobil patrol itu. Kemudian masuk kembali dan berkata kepada supir “buru-buru” . teman baru ku bilang “biasa, polisi, cari makan. Lumayan dapet 50.000, kalau bus penuh bisa dapet banyak, tapi kan bus kita tidak kelebihan penumpang, jadi murah.. klo naek bus kyk gini sering kena, beda dengan patas”. Hehe..gak beda jauh dengan di ibu kota republiknya, kelakuan polisinya mirip.
Suasana mulai monoton, hingga kulewati beberapa stasiun kereta api, kulihat bangun2an belanda, kemudian pabrik tua yang terbengkalai.
Kemudian langit mulai berganti gelap, dan aku terlelap…
Satu yang kusuka dari perjalanan bus ini, aku bayar lebih untuk mendapatkan petualangan… Lets get lost. Hahaha
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar