16 Februari 2010
PENGALAMAN SALJU PERTAMA DALAM HIDUPKU
Seperti biasanya selama seminggu bertugas di London aku menginap di Wisma Caraka, yang berlokasi di Hendon, ketika bangun dari tidur di pagi hari, aku melongok ke luar kamar melihat suasana lingkungan seperti biasanya. Namun pada pagi ini, 19 April 2008, adalah situasi yang sangat berbeda dari biasanya, dimana semua jalan, halaman, dan juga semua atap rumah tertutup salju begitu kata orang menyebutnya. Pengalaman melihat salju adalah yang pertama dalam hidupku. Ini adalah pengalaman yang baru dan sangat atractive. "Indah sekali" begitu fikirku pada saat pertama aku melihat itu. Semua orang juga mengatakan hal yang sama termasuk keluarga Mas Yudi penjaga Wisma. Mereka merasa kegirangan melihat salju, meskipun sudah sering, sehingga mereka, termasuk juga aku tidak mau ketinggalan mengabadikan moment yang istimewa ini. Membawa kamera turun tangga jepret sana, jepret sini. Ahhhh...inikan untuk kenangan-kenangan nanti kalau sudah pulang ke rumah, begitu aku berbisik. Yang sebenarnya, maaf, untuk pamer kepada orang-orang dan juga teman-teman di rumah, kalau aku pernah merasakan salju secara langsung di negara Eropa. "Suatu kebanggaan" yang memang watak dasar manusia ingin berbeda, dipuji dan diakui. Inilah sifat ego manusia yang juga mempunyai nilai positive dan juga negative tergantung dari perspektive mana yang kita pakai.
Nilai positive pamer adalah memberikan motifasi dan juga semangat kepada orang lain. Dimana mereka akan terpacu untuk bisa melakukan hal yang sama, hanya saja mereka belum mendapatkan kesempatan untuk itu. Mereka akan lebih termotivasi dan terpacu untuk giat berusaha kembali. Dimana dia akan membandingkan kemampuanya dengan orang yang berhasil duluan dengan berbagi kiat dan pengalaman. Demikian juga, bagi orang yang share/ berbagi dengan orang lain juga akan semakin mengukuhkan azamnya (keteguhan jiwanya) untuk semakin giat. Pengakuan yang dia peroleh baik dari keluarga, teman, dan masyarakat menjadi penyemangat dalam meraih sesuatu yang positive. Sementara pamer yang berkonotasi negatif dan bahkan dilarang agama adalah pamer dalam rangka untuk kesombongan dan keangkuhan. Dan watak pamer seperti ini dalam perspektive teologi dikenal dengan riya(ingin dilihat orang) atau sum'ah (ingin didengar orang) dalam rangka untuk tujuan negatif atau destructive.
Di pagi itu, aku mengambil beberapa gambar dengan kameraku. Pemandangan yang menakjubkan, serba putih dimana-mana ini. Akan kubagi ke keluargaku, begitu fikiranku menerawang ke rumah yang jauh di sana, terutama anak-anak yang senantiasa bertanya tentang salju seperti apa. Pada saat aku apload di facebook, banyak orang berkomentar tentang keindahan salju yang putih bersih. Termasuk anak-anakku berkomentar "wah indah sekali, pa!". Sehingga tidak salah orang mengkonotasikan keindahan salju yang putih lembut itu sebagai kebeningan, kebersihan atau kesucian. Sehingga kita banyak menemukan orang mengatakan "hatimu seputih salju" atau "white Xmas" untuk menggambarkan kesucian perayaan natal bagi umat Christiani.
Di samping keindahan yang elok ditampilkan, salju juga punya watak tidak bersahabat dengan manusia dan tumbuh2an karena sangat dingin dan membeku. Cuaca yang sangat extrem bahkan sampai di bawah nol membuat tetumbuhan tidak berdaun lagi bahkan sebagian mati. Sehingga keindahan dedaunan yang hijau royo-royo tidak bisa ditemuai kembali pada saat musim salju. Semua pepohonan 'meranggas' seolah tidak bernyawa, karena hanya tinggal ranting dan batangnya. Demikian pula, selimut salju yang terhampar dimana-mana juga banyak mengambat kegiatan mobilitas manusia, karena banyak kendaraan yang tidak bisa beroperasi karena tebalnya dan juga licinya lintasan.
Sehingga gambaran dinginnya dan juga bekunya salju sering menjadi konotasi negative bagi sesuatu yang statis, tidak bergerak, dan tidak impresive. Orang sering mengatakan "hatinya telah membeku bagaikan salju" atau "orangnya sangat dingin" menggambarkan hati yang sulit terbuka dan tidak mudah tersentuh. Fenomena semesta ini memberikan makna bagi kita, bahwa semua makhluk adalah tidak ada yang sempurna. Semua makhluk mempunyai kelebihan dan juga kekuarangan. Walaupun salju sangat indah dilihat tapi juga tidak bersahabat bagi manusia dan tetumbuhan. Keindahan salju adalah karena putihnya yang terhampar merata meyelimuti semua permukaan bumi. Dan tentu keindahan salju pada saat yang sama menghilangkan keindahan yang lain; kita tidak bisa melihat kembali pepohonan yang hijau dan juga udara yang hangat.
Demikian juga, dalam konteks manusia dan kebudayaanya, tidak ada sesuatu yang istimewa dan sempurna dalam kehidupan duniawi. Semuanya mempunyai keterbatasan, termasuk berbagai teori yang seolah paling benar dengan perspektivnya. Tidak ada rumusan yang paling benar dan paling valid, semuanya sangat tergantung darimana kita memandangnya. Bahkan mungkin juga, perspektive agama tidak memiliki kebenaran yang utuh dan paripurna. Ibarat keindahan salju, ketika ia muncul menghilangkan keindahan yang lain. Di sinilah barangkali, kearifan itu dibutuhkan. Tidak mudah terjebak dalam truth claim yang membabi buta. Sehingga kita tidak terjebak dengan hanya satu perspektive dalam melihat sesuatu. Ketika aku dan teman2 sangat kegirangan melihat salju turun, disebabkan belum pernah melihat dan merasakan salju sebelumnya, sehingga turunya salju adalah satu suka cita. Barangkali ini sangat berbeda dengan orang Eropa yang sudah terbiasa dengan salju yang rutin menyambangi mereka tiap tahun. Pasti mereka mempunyai pandangan berbeda dengan orang2 tropic macam aku. Bahkan mungkin mereka berharap mengalami udara hangat dan juga tetumbuhan yang hijau sepanjang tahun sebagaimana yang dialami oleh orang tropic macam aku.
Ah...salju, kau telah membuat ku kedinginan,
Kau juga telah menghilangkan indahnya pepohonan hijau..
semunya memutih bagaikan hamparan kapas
Wisma Caraka, London Medio April 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar