15 Februari 2010
AKU TRAVELING KARENA AKU JADI LOCAL STAFF
Kata orang jurnalis dan diplomat adalah jenis pekerjaan yang menjanjikan perjalanan ke pelosok negeri dan manca negara. Apa iya sih? Anggapan itu barangkali ada benarnya. Dulu sih! Namun, seiring waktu, sekarang hampir semua jenis pekerjaan memungkinkan kita untuk meninggalkan meja kantor berhari-hari, berminggu-minggu, bahkan berbulan-bulan.
Coba tengok cerita Mbak Trinity di naked-traveler.com atau versi bukunya “The Naked Traveler”. Si Mbak yang mengaku cuma pegawai kantoran biasa sudah bisa traveling ke berbagai belahan dunia. Obsesi Agustinus Wibowo berkeliling dunia punya kisah menarik yang rutin ditulisnya untuk rubrik travel story di KOMPAS .COM. Padahal ia cuma seorang mahasiswa asal Lamongan yang sedang kuliah di Cina.
Petualangan Andrea Hirata sebagai backpacker berkeliling Eropa dan Afrika dikisahkan secara dramatis dalam “Edensor”. Atau yang lebih seru nan kocak kisah si Lintang yang cantik dengan keempat sahabatnya (Gery, Wicak, Daus, dan Banjar) dalam novel “Negeri van Oranje” berkelana menyusuri berbagai kota di Belanda sembari menyelesaikan studi masternya.
Awalnya, aktifitas jalan-jalan dianggap orang sebagai kegiatan yang membuang waktu dan biaya. Nyatanya kegiatan memanfaatkan waktu luang telah berubah menjadi bisnis yang menggiurkan. Berbagai media cetak bernuansa jalan-jalan marak menjadi panduan kita bepergian. Taruhlah majalah National Geographic Traveler Indonesia, Kabare, dan Jalan-jalan. Buku “Lonely Planet” lengkap menyajikan pernak-pernak wisata a la backpacker. Belum lagi laman-laman di internet yang menyajikan informasi dan biaya traveling. Biro perjalanan dan hotel turut kebanjiran rejeki.
Berpesiar tanpa jeprat-jepret pastinya nggak afdol. Makin majunya teknologi digital memudahkan kita untuk memajang foto narsis kita di facebook, twitter, YM, maupun Friendster. Kalau nggak punya (atau nggak ada yang mau minjemin) kamera jenis SLR maka kamera saku juga nggak masalah. Kalau nggak ada juga kita masih bisa pakai kamera ponsel. Kalau masih nggak ada, panggil aja tukang foto keliling!
Kalau belum bisa jalan-jalan betulan cukuplah kita tengok tayangan di televisi. Di sana disajikan secara visual betapa nikmatnya melakukan perjalanan. Semuanya bisa disimak dalam “Jejak Petualang”, “Koper dan Ransel”, “Backpacker”, dan “Archipelago“. Nuansa petualangan dan adu cepat bisa kita tonton di “Amazing Race”. Dan yang paling popular adalah “Wisata Kuliner”. Jalan-jalan sambil makan-makan. Dibayar pula. Duh enaknya jadi Pak Bondan.
Kalau mau lebih bebas kita cukup duduk di depan komputer. Sambungkan ke internet. Berselancarlah. Apalagi ada Om Google Earth. Tambah sip. Tapi senikmat apapun itu, bepergian secara fisik jauh lebih menyenangkan dan mengesankan.
Karena itu tak salah jika Karl May yang mengarang novel petualangan seri “Winnetou” dan seri “Kara Ben Nemsi” lebih dari seratus tahun lalu mampu menghipnotis jutaan orang di dunia menjadi pelancong.
Kalau aku sih, karena pekerjaan, hanya bisa berjalan-jalan atas biaya dinas … ya alhamdulillah …. Dan bersyukur, belum tentu orang lain bisa bernasib baik seperti aku.
Saat raga masih dibutuhkan oleh negeri tercinta, maka banyak tempat yang telah dikunjungi. Semua dalam kerangka " pengabdian " dalam berbagai pembenarannya. Dan suatu ketika ada rekan yang bertanya : " Anda kerja dimana sih ? Kok jalan-jalan aja kelihatannya …. " maka dengan sangat gampang bisa aku jawab : " Aku bekerja di tempat yang selalu menugaskan aku pergi ke sebuah negara…". Jawaban yang berkesan Jumawa bagi sebagian orang, tapi memang itulah yang terjadi.
Sejak menggapai status Pegawai Setempat secara resmi pada bulan Januari 1987, aku telah terbawa terbang ke suatu tempat nun jauh di bagian selatan benua Afrika, negara itu bernama Zimbabwe, sekian tahun bekerja hampir semua lokasi bisa terinjak. Ujung Barat telah dikunjungi beberapa kali yaitu Nyanga, sedangkan batas paling timur telah pula terlewati dengan melangkahkan kaki di Masvingo.
Dengan berbagai kepentingan tugas, negeri di seberang lautan dan ujung dunia sudah terkunjungi, walau belum lebih dari selusin negeri. Dari benua Kulit Hitam di balik bumi " sebelah sono, jazirah Arab Maghribi, " hingga kerajaan Inggris yang memiliki " Big Ben " jam yang kondang itu, sudah pula ternikmati. Suatu perjalanan yang tidak pernah terbayangkan, tidak pernah termimpikan, tidak pernah tercitakan … terwujud begitu saja.
Semakin banyak negeri yang dikunjungi, semakin kita tersadar bahwa hati kita semakin kaya dengan pengalaman. Itulah nikmanya perjalanan, perjalanan memang m,emberikan kita pengalaman yang senantiasa tak terduga dan menakjubkan.
Aku mengunjungi banyak negara bukan karena aku si sombong yang banyak uang, melainkan hanya orang biasa dari kampung biasa yang bisa mengenal dunia karena rejeki dari-Nya dan karena kepercayaan Pimpinan untuk melaksanakan tugas serta instruksi pimpinan pusat untuk pelatihan guna pembekalan terhadap bidang tugas yang dikerjakan. Alias ABIDIN (atas biaya dinas).
Ada bermacam kategori kunjungan ke suatu Negara. Mulai dari kunjungan social budaya, kunjungan bisnis, kunjungan politik, pemerintahan, kenegaraan, kunjungan keluarga, ilmiah, kunjungan jurnalistik, konferensi, seminar, symposium, studi dan kunjungan wisata. Walupun kunjungan wisata (tourism) disebutkan satu kategori, namun didalam praktiknya semua kategori kunjungan tadi mengandung makna kepariwisataan.
Setiap pebisnis, setiap pejabat, setiap ilmuwan, setiap budayawan atau siapapun yang berkunjung untuk kepentingan apa saja ke suatu negeri selalu ingin menyempatkan diri melihat keunikan, cagar budaya, tempat bersejarah, atraksi budaya, museum, perpustakaan, shoping centre, restoran, taman, universitas, tempat ibadah, dan seterusnya. Semuanya itu pada dasarnya merupakan wujud nyata kepariwisataan. Pokoknya substansi dasarnya adalah setiap perjalanan ke suatu tempat dan peristiwa yang memberi kesentosaan, kebahagiaan dan kenyamanan, bolelhlah disebut pariwisata.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar